In Memoriam Jamal Lako Sutan (1905-1975), Sahabat Bung Hatta dari Kuantan Singingi

In Memoriam Jamal Lako Sutan (1905-1975), Sahabat Bung Hatta dari Kuantan Singingi
Jamal Lako Sutan

Kami bukan pembangun candi
Kami hanya pengangkut batu
Kami angkatan yang mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas pusara kami
Lebih sempurna

Sajak diatas adalah karya penyair Belanda, Henriette Roland yang ditemukan di saku celana seorang pejuang Republik Indonesia yang gugur dalam pertempuran Lengkong yang meletus pada 25 Januari 1946 di daerah Lengkong, Tangerang. Saat itu pemuda-pemuda  bertempur gagah berani melawan tentara Jepang. Sebanyak 33 pejuang gugur dalam pertempuran heroik itu.

Sajak Henriette memang sangat menginspirasi perjuangan rakyat Indonesia kala itu. Ditempat  pengasingan Boven Digoel  (Boven Digoel  Concentration Camp) di ujung Timur Indonesia sana, sajak Henriette juga terpatri di makam seorang pejuang anti-kolonial terkemuka di tahun 1920-an: Aliarcham

Boven Digoel adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Selatan. Di masa Belanda, tempat yang dikenal dengan sebutan Digoel Atas ini adalah lokasi pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia.

Mengutip laman Indonesia.go.id, Digoel dibangun oleh Gubernur Jenderal De Graffe pada 1927 sebagai lokasi pengasingan tahanan politik. Terutama bagi tokoh-tokoh bumi putera yang dianggap berbahaya bagi pemerintah Hindia Belanda. Lokasi pengasingan tersebut terletak di tepi Sungai Digul Hilir, Tanah Papua bagian selatan. Disekeliling Digoel, terdapat hutan rimba dengan pohon yang menjulang tinggi.

Boven Digoel kemudian digunakan sebagai lokasi pembuangan pemimpin-pemimpin nasional. Di sini diasingkan  tokoh-tokoh bumi putera yang dianggap terlibat dalam "Pemberontakan November 1926" yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) serta tokoh-tokoh perlawanan berbasis agama dan politik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,  dan Maluku.

Tercatat sejumlah tokoh nasional pernah diasingkan ke Boven Digoel, antara lain: Sayuti Melik (1927-1938),  Mohammad Hatta (1935-1936), Sutan Sjahrir (diasingkan pada 28 Januari 1935),  Mohamad Bondan, Maskoen Soemadiredja, Diah Burhanuddin, Suka Sumitro, Moerwoto, Aliarcham, Muchtar Lutffi, Ilyas Ya'kub, Mas Marco Kartodikromo, dan lainnya.

Di antara sekitar 1.308 orang tokoh pejuang yang pernah diasingkan ke Digoel, satu antaranya adalah Putra  Kuantan Singingi. Namanya Jamal Lako Sutan, salah seorang pejuang perintis kemerdekan RI.

Dia adalah salah seorang sahabat Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Ilyas Yacoub asal Sumatera Barat yang pernah ditahan di Digoel.

Muhamad Hatta dipanggil Bung Hatta  pernah ditahan Dua Tahun. Sementara Jamal Lako Sutan ditahan di kamp tahanan paling  terisolasi di Indonesia itu selama 10 Tahun.

Jamal Lako Sutan lahir di Telukkuantan pada 1905. Ia adalah salah seorang yang berjuang melawan penjajahan Belanda, sebelum Indonesia merdeka. Ia beberapa kali keluar masuk penjara tahanan Kolonial Belanda.

Dari berbagai sumber yang dirangkum, setelah  menyelesaikan pendidikan sekolah rakyat di Telukkuantan pada 1924 Jamal Lako Sutan melanjutkan pendidikan di Normal School voor Inlansche Hulpanderwijzon di Langsa Aceh  (Nanggroe Aceh Darussalam). Ia mendapat tunjangan ikatan dinas dari pemerintah Kolonial Belanda saat itu.

Pada 1924, ketika berusia 19 Tahun dan baru duduk di kelas 4 Normal School di Langsah Aceh,  Jamal Lako Sutan mulai aktif mengikuti pergerakan politik kemerdekaan Indonesia. Akibatnya ia harus menanggung resiko dipecat dari sekolah tersebut dan pulang ke Telukkuantan.

Dikampung halaman Telukkuantan, Jamal Lako Sutan mengabadikan dirinya sebagai guru pemberantasan buta aksara. Kegiatan dalam pengajaran membaca dan menulis kalimat sederhana dengan suatu aksara ini mendapat sambutan luas dari masyarakat. Namun dicurigai oleh penjajah Belanda.

Ditengah kesibukannya sebagai guru, Jamal Lako Sutan ditangkap dan ditahan pemerintah Kolonial Belanda. Ia dituduh menghasut rakyat agar tidak membayar belasting. Dipengadilan Orang Gedang dibawah pimpinan Kontrolir  (controleur), ia divonis bersalah dan penjara satu setengah tahun. Maret 1926 hukumannya selesai.

Tujuh bulan setelah kebebasannya, Jamal Lako Sutan pada 6 Oktober 1926-Maret 1928 kembali ditahan Kolonial Belanda.  Tuduhannya menghasut rakyat supaya memberontak kepada pemerintah Kolonial Belanda. Kemudian, pemerintah Kolonial Belanda menambah hukumannya.

Jamal Lako Sutan digolongkan sebagai orang yang tidak mau berdamai dengan pemerintah kolonial. Ia dibuang ke Digoel selama 10 tahun (1928-1938). Disini ia bertemu dengan tahanan politik dan agama asal Sumatera seperti Muhammad Hatta,  Sutan Sjahrir, dan salah seorang pendiri Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang berjuang menentang politik kolonial Pemerintah Hindia Belanda, Ilyas Ya'kub.

Kelak Bung Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Kepres Nomor 84/TK/Tahun 2012 tanggal 7 November 2012. Sebelumnya, Presiden Soeharto menetapkan sebagai pahlawan proklamator melalui Kepres No. 081/TK/Tahun 1986.  

Sutan Sjahrir ditetapkan  Presiden Soekarno sebagai pahlawan nasional melalui Kepres No.76 Tahun 1966 tertanggal 9 April 1966. Sementara Ilyas Yaco’ub ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden BJ HABIBIE melalui Keputusan Presiden No. 074/TK/1999 tanggal 13 Agustus 1999.

Pada 1938, Pemerintah Kolonial Belanda memulangkan Jamal Lako Sutan ke Telukkuantan, karena sakit. Setelah sehat ia kembali kembali aktif menjadi pengurus Muhammadiyah sebagai Sekretaris Cabang Teluk Kuantan. Selain itu, ia juga menjabat Sekretaris Majelis Konsul dan Majelis Pengajaran Muhammadiyah Daerah Riau.

Sebelum kepindahannya, di  Rantau Kuantan sudah berdiri Ranting Muhammadiyah. Tepatnya di  Lubuk Jambi pada 9 September 1933 dengan susunan pengurus yaitu Ibad Amin (Penasehat dan Ketua), Mudasin (Wakil Ketua), Sulaiman Khatib (Sekretaris), Raja Ibrahim (Keuangan), Sa’ad Manan dan Arsyad (Pembantu).  

Pada 1934  berdiri pula  Ranting Muhammadiyah Cengar. Dengan susunan pengurus yaitu Tembang (Ketua), Saabat (Wakil Ketua), Ali Madinah (Sekretaris), Badu Moli (Bendahara), Muhammad Lamil, Gomuak,  dan Montuak (Anggota).

Pada Juli 1936, Fungsionaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dono Wardoyo yang juga pengurus PP Yogyakarta datang meninjau keberadaan Muhammadiyah di Cengar. Saat itulah diresmikan status Muhammadiyah Cengar menjadi Cabang Tunggal (Cabang Istimewa) karena tidak memiliki ranting.

Disamping itu, Jamal Lako Sutan juga mengajar di sekolah Muhammadiyah Telukkuantan. Pada penjajahan Jepang, Jamal Lako Sutan menjadi Direktur Sekolah Guru Muhammadiyah di Telukkuantan sampai akhir 1946.  

Ketika Jepang menyerah pada  Sekutu 14 Agustus 1945, Jamal Lako Sutan  bersama perjuang lainnya di Indragiri khususnya Rantau Kuantan seperti Umar Amin Husin, Buya Hasan Arifin,  Buya Ma’rifat Mardjani, Ibad Amin, Sarmin Abroes, Syafii Yatimi, Ibnu Abbas, Abdoer Rauf, Thoha Hanafi, Saidina Ali, Muhammad Noer Raoef, Radja Rusli ikut memperjuangkan Kemerdekaan RI.

Mereka menggerakkan  masyarakat  Indragiri khususnya Rantau Kuantan  mendukung kemerdekaan RI yang diproklamirkan Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Mereka juga berjuang  melakukan perlawanan  melalui perang gerilya di hutan-hutan yang ada di Rantau  Kuantan untuk mengusir Belanda dari bumi pertiwi. Mereka ikut meng-inisiasi pendirian Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas untuk melakukan tugas pemeliharaan keamanan bersama-sama dengan rakyat dan jawatan-jawatan Negara.

BKR dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI dalam sidangnya pada tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. BKR  menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang sebelumnya merencanakan pembentukkan tentara kebangsaan. Perubahan tersebut akhirnya diputuskan pada tanggal 22 Agustus 1945 untuk tidak membentuk tentara kebangsaan. Keputusan ini dilandasi oleh berbagai pertimbangan politik.

Pada September 1946, Jamal Lako Sutan turut membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di Telukkuatan. Ia menjadi anggota eksekutif memimpin bagian penerangan di KNID.  

Kemudian, KNID berganti nama menjadi Dewan Perwakilan Rakyat, Jamal Lako Sutan tetap menjadi anggotanya hingga 1949. Kemudian, ia dipercaya memimpin Kewedanaan Indragiri di Tembilahan.

Selama masa Agresi Belanda II, Jamal Lako Sutan ditunjuk pula sebagai Wakil Komandan Daerah Militer Riau Selatan untuk wilayah Rengat dan Tembilahan.  Pada peristiwa penyerahan kedaulatan dari Kolonial Belanda kepada Pemerintah RI, ia ditunjuk sebagai wakil mutlak Pemerintah Keresidenan Riau untuk Indragiri bahagian Hilir.

Dalam rentang  1950-1955, Jamal Lako Sutan ditunjuk sebagai Wakil Ketua Dewan Pemerintah Daerah Sementara Kabupaten Indragiri dan dipercaya memegang jabatan Bupati. Selanjutnya 
pada 1955 -1956, ia diangkat sebagai Patih Padang Pariaman. Selanjutnya ia ditunjuk sebagai acting Bupati Kerinci di Sungai Penuh.

Kemudian Jamal Lako Sutan manjadi Bupati KDH Kabupaten Pesisir Selatan ke-7 (1957-1960).  Ia menggantikan Oendin (1954-1957). Ia digantikan Boer Yusuf (1960-1964).

Selanjutnya, Jamal Lako Sutan bekerja "dibawah tanah" menentang pemberontakan Dewan Banteng yang merupakan  cikal bakal dari Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Dewan Banteng dibentuk oleh beberapa tokoh militer mantan pimpinan dan anggota Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan beserta tokoh sipil asal Sumatra Tengah pada 20 Desember 1956.  Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah, mantan Panglima Divisi IX Banteng yang dibentuk pada 20 Desember 1956, diketuai Letnan Kolonel Ahmad Husein

Dewan ini di bawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri. Tujuan dari terbentuknya Dewan Banteng adalah untuk pembangunan daerah yang dianggap tertinggal dibanding pembangunan di Pulau Jawa.  

Dewan Banteng ini mengoreksi pemerintahan otoriter Soekarno yang dianggap inkonstitusional dan mengabaikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Tindakan koreksinya itu ternyata mendapat sambutan berupa aksi militer dari pemerintah Pusat di Jakarta sehingga menimbulkan perang saudara di Sumatera Tengah yang wilayahnya meliputi: Sumatra Barat, Riau dan Jambi.

Namun Jamal Lako Sutan pada akhirnya mendapat fitnah dan ditahan di Padang pada 23 September 1958. Ia kembali diasingkan ke Ambarawa (Jawa Tengah) dan dibebaskan pada Maret 1962. Jamal diberikan hak pensiun sebagai PNS terhitung Januari 1961.

Pada Tahun 1965 sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor Pol 621/65,  Pemerintah RI memberikan penghargaan kepada Jamal Lako Sutan sebagai Perintis Kemerdekaan RI.

Gelar yang sama juga diterima KH Umar Usman, putra Kuantan Singingi yang pernah menjadi Bupati Militer Indragiri (5 Januari 1949 - 2 Februari 1952) dan anggota DPR RI (1971 – 1976) pada era Pemerintahan Presiden Soeharto

Surat keputusan sebagai pahlawan perintis kemerdekaan itu ditandatangani  Menteri Sosial RI Kabinet Dwikora I pada Masa Pemerintahan Soekarno,  Rusiah Sardjono S.H.

Pada 7 September 1975, Jamal Lako Sutan wafat dan dimakamkan di Taman Pemakam Umum (TPU) Tobek Belibis Teluk Kuantan, di TPU itu banyak tokoh pejuang yang dimakamkan. Namun, semakin besar jejaknya sudah hilang.

TPU Tobek Belibis menjadi saksi bisu bahwa banyak  pejuang di rantau Kuatan dalam merebut, mempertahankan kemerdekaan RI di makamkan disitu. Sayang kondisi makam tersebut  kurang terawat.

Niat baik Pemerintah Kuantan Singingi untuk merawat makam tersebut tak hanya ditunggu tapi actionnya harus dimulai.

 

Berita Lainnya

Index